Sabtu, 14 Januari 2012

Villa Rorojonggrang


Liburan tahun ini cukup panjang, sekitar dua minggu. Sebelum liburan berlangsung Morgan telah berencana bersama Bisma untuk liburan keluar kota. Akhirnya mereka memutusan untuk liburan ke Magelang dan bertemu disana dengan teman – teman mereka yang lain menikmati indahnya candi tertua di dunia. Mereka berencana untuk menghabiskan dua minggu penuh di Magelang dan sekitarnya sampai akhirnya mereka telah sampai ke tempat tujuan dengan membawa sebuah mobil mewah. Mereka bersepakat untuk mencari villa di daerah yang dekat dengan objek wisata.
Setelah beberapa kali berkeliling, akhirnya mereka menemukan sebuah villa yang tempatnya lumayan dekat dengan objek wisata yang letaknya sedikit di perbukitan. Namun setelah melihat keadaan villa itu, esok harinya Bisma mengurungkan niatnya dan akan menginap di rumah saudaranya yang ada di kota itu. Bisma mendadak saja bergidik ngeri saat melihat villa itu. Namun, Morgan tetap bersikukuh untuk ingin tinggal ditempat yang bernama “Villa Rorojonggrang” itu selama ia berlibur di ibu kota Jawa Tengah itu. Bisma seperti melihat bangunan tua dan kuburan – kuburan tak bertuan. Bangunan itu sesungguhnya sudah bobrok. Dindingnya sudah keropos, gentengnya banyak yang hancur dan kaca – kaca jendelanya banyak yang pecah.
Bisma ingin meyakinkan kalau dia tidak salah langkah. Tapi villa itu benar – benar sudah bobrok dan hancur. Padahal kemarin sore saat ia dan Morgan lewat, villa itu kelihatan baik – baik saja. Rapi dan bersih. Kenapa saat ini villa itu berubah ? Sarang laba – laba melekat di dinding dan pintu – pintu masuk. Anak tangga yang terbuat dari papan itu sudah reot. Satu anak tangganya sudah keropos dan putus. Ruang dapurnya juga seperti gubuk tua yang dihinggapi sarang laba – laba dan genangan air.
“Villa yang kamu tempati itu seram sekali Gan,” komentar Bisma siang itu di sebuah warung dekat candi seribu stupa itu.
“Seram bagaimana Bis ? Villa itu selalu dibersihkan Bi Ijah pembantu yang punya villa itu, tempatnya enak lo Bis,”
“Bersih bagaimana ? Aku melihat villa itu bagaikan seonggok rumah tua yang sudah suram. Banyak sarang laba – laba, pecahan genteng, pecahan kaca dan bau busuk. Makanya dulu aku ngga jadi ikut sewa villa itu,”
“Kamu jangan mengada – ada Bis. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri villa itu bersih dan terawat,”
“Kamu melihatnya dari sudut pandang mana Gan ?? Kamu lebih baik pindah dari villa itu dan tinggal sama aku di tempat saudaraku atau di tempat Ilham.”
“Halaa, kamu itu sama saja seperti Ilham. Kenapa sih kalian sirik banget sama aku. Saat aku mulai merasa betah, kalian justru menyuruhku untuk pindah. Sebenarnya maksud kalian itu apa sih Bis ??”
“Aku tidak bermaksud apa – apa Gan. Aku hanya mengingatkan kamu saja. Jangan sampai kau terpancing dengan makhluk halus di dalamnya,”
“Sudahlah Bis. Aku itu pusing mendengarkan komentarmu. Mending kamu tidak usah ikut campur dalam kehidupanku saat ini. Dan sekarang kita buat rencana besok mau kemana.”
“Tapi Gan, dengar dulu penjelasanku,”
“Sudahlah Bis, aku ngga ada waktu buat ngurusin cerocosanmu,”
“Hmmm.. Okelah aku ngga akan ikut campur dengan kehidupanmu. Tapi ingat Gan, villa itu berhantu,” Bisma berlalu dari Morgan. Morgan terpaku dengan tatapan kesal.

Morgan membasuh wajahnya, kemudian duduk di balkon belakang. Ia berharap Kaniya datang menemaninya. Dan harapannya terkabul saat melihat Kaniya berjalan perlahan menghampirinya.
            “Sepertinya kamu kelelahan ? Dari mana saja ?” tanya Kaniya seraya duduk di dekat Morgan.
            “Tadi kumpul sama teman – teman,”
            “Ooh.. Aku buatkan teh ya,”
            “Hh, tidak usah Kan. Tidak usah repot – repot,” cegah Morgan saat Kaniya beranjak pergi.
            “Kamu disini sudah cukup hilang kok capekku,” kata Morgan seraya melempar senyum manisnya.
Mereka kemudian ngobrol seputar kehidupan, falsafah dan psikologi. Malam ceapt berlalu. Seperti hari – hari kemarin, saat malam tengah merangkak tua, Morgan menguap lebar. Ngantuk yang sangat luar biasa dan begitulah saat pagi menjelma. Morgan tidak menemukan sosok Kaniya. Hingga ia merasakan rindu. Pertemuan itu menumbuhkan benih – benih cinta dalam hati Morgan. Sesekali ia bernyanyi.
Ada cinta yang ku rasakan saat bertatap dalam canda
Ada cinta yang kau getarkan saat ku resah dalam harap
Oh indahnya cinta….

            Morgan mendadak muntah darah. Darah segar keluar dari mulut dan hidungnya. Setelah badannya mengalami panas tinggi hanya dalam waktu semalam, Morgan terbelalak melihat muntahan itu. Dengan tertatih ia mengambil telepon genggamnya diatas meja, ia menekan tombol ponsel milik Bisma. Setelah nyambung Morgan langsung meminta tolong agar Bisma menjemputnya di villa.
            Setelah menjemput Morgan, Bisma membawanya ke dokter. Namun analisis dokter tidaj menunjukkan gejala penyakit yang diderita Morgan. Bisma langsung saja membawa Morgan ke orang pintar yang bisa mengobati penyakit tak wajar seperti yang dialami Morgan.
            “Ini bukan penyakit biasa,” kata lelaki tua berjubah putih dengan peci di kepalanya yang kerap disapa Pak Udin, lengkapnya Qamarudin, karena mungkin terlalu sering bermeditasi di kamar sehingga ia mempunyai nama seperti itu. Yah Udin yang suka di kamar. Beliau adalah orang pintar yang sangat disegani.
            “Apa ?? Maksud Bapak ?? Kalau ngga biasa, luar biasa dong Pak ?? Berarti obatnya juga di luar kota dong Pak ??” Bisma terbelalak sedangkan Morgan bertanya keheranan. Pak Udin memandang wajah Morgan dan Bisma bergantian. Mungkin beliau agak heran dengan wajah mereka yang mirip personil sm*sh boy band pertama di Indonesia yang kini sedang naik daun.
            Bisma dan Morgan terkejut dan saling berpandangan. Mungkin Bisma berpikir kalau pak Udin tertarik dengan salah satu dari mereka, namun pikiran itu segera ia tepis jauh – jauh yang terlihat dari ekspresi mukanya, menunjukkan wajah bodoh.
            “Kamu sudah dikuasai makhluk halus. Mereka sangat menginginkan kehadiranmu. Saya akan memberikan penawarnya. Tapi ingat setelah minum obat ini jangan bergaul dengan makhluk halus lagi dan tetaplah senantiasa berdzikir,”
            Morgan semakin bingung. Siapa yang berhubungan dengan makhluk halus ? Batinya. Setelah acara penyembuhan dan beberapa penangkal untuk Morgan, Bisma membawa Morgan pulang ke rumah saudaranya. Penyakitnya pun berangsur sembuh. Tapi sejak itu ia tidak melihat sosok Kaniya lagi. Mengapa pada saat ia sakit Kaniya justru tidak muncul, padahal ia sangat membutuhkan Kaniya pada saat itu.

            “Sebaiknya kamu menghabiskan sisa liburan tinggal sama aku aja deh Gan,” kata Bisma.
            “Hmm, gimana ya Bis… Aku kan udah bayar penuh tu villa selama 2 minggu. Lagian aku juga ngga mau ngrepotin keluarga kamu lagi Bis,” jawab Morgan.
            “Alaaah, kita tu ngga ngerasa direpotin Gan, anggap keluarga sendiri aja Gan. Kita kan uda sahabatan sejak kecil,”
            “Hmm, iya makasih Bis. Tapi mending aku tinggal di villa itu aja deh. Anterin aku sekarang yah,” pinta Morgan pada Bisma.
            “Hmmm… Terserah kamu aja deh, heran deh dulu ibu kamu tu ngidam batu kali yak… Kok kamu keras kepala banget,” jawab Bisma.
            “Haddeeeh… Malah ngomongin nyokapku.. Udah ayo anterin,”
            “Ayo..”
            “Sebaiknya kamu pindah saja dari rumah tua itu Nak,” kata seorang ibu paruh baya yang melihat keadaan Morgan dengan wajah pucat turun dari mobil.
            “Memangnya kenapa Bu ??” tanyanya heran.
            “Ibu tidak ingin melihat terjadi apa – apa sama kamu. Kamu orang baik – baik,”
            “Ahh, Ibu berlebihan. Tidak ada apa – apa kok Bu, saya biasa aja. Ibu masih percaya sama hantu ?”
            “Bukan begitu Nak. Tapi menurut kejadian yang sudah – sudah….”
            “Sudahlah Bu,” potong Morgan cepat. Ia tak ingin meneruskan kata –kata wanita paruh baya itu. Mungkin lebih baik begitu. Daripada ia tahu semuanya tentang villa itu. Bisa – bisa ia mati ketakutan. Padahal Morgan sudah bayar penuh sewa villa itu selama 2 minggu, jadi sayang kalau buru – buru pindah.
            Sore itu Morgan sengaja melihat – lihat halaman belakang yang kini ditumbuhi semak belukar. Di sisi samping memang agak gersang. Sedangkan di halaman belakang ditumbuhi pohon – pohon besar seperti mangga dan rambutan. Tiba – tiba ia tersandung sebuah benda keras berwarna keputihan. Ia memperhatikan lekat – lekat. Kemudian menariknya dari dalam tanah. Morgan terkejut alang kepalang. Sebuah tengkorak manusia. Buru- buru ia meninggalkan tempat itu dan naik ke lantai dua. Masuk ke dalam kamarnya dan mengatur detak jantungnya.
            Villa itu memang terlihat semakin sepi dan senyap. Morgan tidak menemukan orang – orang yang kemarin – kemarin juga menyewa salah satu dari kamar yang ada di villa itu. Bahkan resepsionisnya pun tidak ada. Ini sudah hari kedelapan ia menempati kamar villa bernomor 16.
            Mendadak saja kamar Morgan menjadi gelap. Tapi hanya sejenak, lalu terang kembali. Namun menggambarkan suasana asing di depan Morgan. Pintu kamarnya terbuka, dan ia melihat seorang gadis belia keluar dari kamar bernomor 17 yang tepat terletak di depan kamarnya. Gadis itu terlihat sangat sedih. Kegalauannya terlihat dari raut mukanya yang selalu murung karena ditinggal kekasihnya yang tak mau bertanggung jawab atas bayi yang dikandungnya.
            Berselang kejadian itu, Morgan melihat beberapa pembantaian yang terjadi di depan kamarnya itu yang dia tak tahu siapa pemilik dari kamar itu. Kejadian itu sudah lama sekali. Dan bayangan itu menghilang begitu saja. Suasana kembali ke asal. Sebuah kamar tiga kali empat yang sudah rapuh.
            Sosok mengerikan di depannya masih melotot tajam dengan kemarahan yang membara. Potongan – potongan tangan dengan kuku – kuku yang tajam berwarna kehitaman mencoba mencekik leher Morgan. Morgan tercekat dan membaca beberapa ayat kursi, bertasbih dan berdzikir mengusir setan yang gentayangan. Kemudian ia melemparkan sebuah tasbih pada sosok kepala yang bunting mengerikan itu.
            Sosok itu menyeringai dan menjerit kepanasan. Kepalanya melepuh seperti terbakar. Mengeluarkan asap dan bau yang tidak sedap. Dibarengi erangan yang melengking sosok mngerikan itu hilang terhembus angin malam.
            Esok paginya…
            Morgan ingin sekali menanyakan kejadian apa sebenarnya yang terjadi di rumah itu. Tapi pada siapa ia mengorek semua cerita itu. Morgan lalu teringat dengan wanita paruh baya yang tinggal di pinggir jalan depan gang menuju villa itu. Mungkin ia mengetahui sejarah rumah itu. Dan Morgan bergegas menuju rumah ibu itu.
            Di rumah itu dulu terjadi pembantaian berdarah. Pembantaian yang dilakukan satu keluarga. Dulu, sepuluh tahun lalu. Kejadian itu menimpa seorang gadis berusia enam belas tahun yang menjalin cinta dengan pacarnya dan hubungan mereka itu terlalu jauh sampai akhirnya gadis itu hamil. Kedua orangtuanya murka dan menyiksa anaknya untuk menggugurkan kandungannya. Tapi si gadis bersikukuh untuk mempertahankan bayi itu.
            Sang pacar dibantai oleh ayah si gadis dan tewas mengenaskan. Mayatnya dikubur dibelakang rumah mereka. Melihat kehamilan si gadis sudah lima bulan dan perutnya mulai membuncit sang ayah tidak terima anaknya mengandung anak haram, ia kalap dan mengikat anaknya di tempat tidur. Menganiaya anak gadisnya dengan sadis.
            Entah kenapa yang timbul di otak Morgan adalah Tuty Wibowo yang menyanyikan lagu “Hamil Duluan” kemudian diteruskan oleh Afgan dengan lagunya “Sadis”. Sejenak ia tertegun. Dia seperti melihat kejadian tragis itu. Ia menelan air liurnya yang terasa pahit. Bergidik ngeri sesaat bila mengingat rumah itu.
            “Orang – orang yang menyewa di tempat itu sering dihantui gadis itu,” lanjut wanita tua itu.
            “Siapa gadis itu Bu ?” Tanya Morgan keheranan.
            “Kaniya Rorojonggrang,”
            “Haahhh!!” Morgan terkejut setengah mati. Ia tidak percaya bahwa gadis itu adalah Kaniya.
            “Tidak mungkin Bu. Gadis itu tidak mungkin Kaniya,”
            Ibu itu tersenyum kecut, ”Kau sudah bertemu dengannya ??”
            Morgan terdiam dan tertunduk.
            “Saya tahu gadis itu pasti telah menggoda kamu. Semua pengunjung villa itu, terlebih lelaki muda sepertimu tergoda olehnya. Dia putih, cantik, dan menawan. Tapi ketahuilah, seseorang yang berusaha mencintai dia akan dibawanya ke dalam kubur,”
            Morgan terkejut lagi. Sebenarnya ia sempat berpikir kalau kata – kata ibu tadi adalah dibawa ke hatimu.. Eh, malah dibawa ke kuburan, “Tapi Buu..”
            “Sebaiknya cepat kamu kemasi barang – barang kamu dan segera tinggalkan villa itu. Sebelum malam ke sepuluh tiba. Sosok Kaniya akan muncul dengan wujud aslinya. Dan pada saat itu pada dia akan membawa laki – laki yang telah mengasihinya,”
            “Maksud Ibu?”
            “Laki – laki itu akan menjadi penghuni abadi kamar 17 bersama Kaniya,”
            “Lantas ibu yang menawarkan villa itu bagaimana ?”
            “Dia sudah lama meninggal dunia. Dia dihantui oleh arwah anak gadisnya sendiri sendiri dan tewas jatuh dari lantai dua,”
            Morgan menarik napas dalam – dalam. Rasanya tidak sanggup dia kembali ke villa itu sendirian.
            “Kalau kamu ingin tahu wujud Kaniya yang sebenarnya, lihatlah dengan menggunakan kamera, kamu bisa merekam dengan handycam atau kamera digital. Lihatlah Kaniya tidak menyentuh bumi. Dan kamu akan tahu siapa Kaniya yang sebenarnya,”
            Morgan semakin kalut. Buru – buru ia menghubungi Bisma dan Rangga.
            “Bantuin aku dong Bis, aku mau pindah dari villa itu. Jemput aku yah,”
            “Okey, posisi kamu sekarang dimana ?”
            “Aku lagi di jalan menuju villa itu. Kamu bawa mobil kan ?”
            “Siiip, aku segera kesana,”
Morgan berharap Bisma dan Rangga segera tiba di villa itu dalam waktu secepat mungkin. Morgan memerhatikan rumah itu kembali, sebuah bangunan megah yang sombong. Bangunan itu terlihat aslinya. Sebuah rumah bobrok yang sangat mengerikan. Angin berhembus kencang. Pohon – pohon melambai – lambai. Langit tiba – tiba saja berubah gelap. Morgan memberanikan diri masuk ke dalam rumah. Tembok – tembok beton yang dulu dilihatnya sangat kokoh kini berubah menjadi tembok yang rapuh dan penuh lumut. Pecahan genteng dan kaca berserakan di halaman. Sarang laba – laba menempel di dinding beton.
Jendela mengepak – ngepak tertiup angin. Membentur dengan keras beberapa kali. Tapi sejenak angin berhenti. Morgan melihat Kaniya keluar dari kamarnya. Kamar bernomor 17.
Kaniya menatap Morgan dengan tajam. Kini tidak ada senyuman manis yang dulu dipuja Morgan. Wajah Kaniya berubah pucat. Matanya membekas lingkaran biru seperti menahan tangis.
            “Morgaaaan…” gumamnya lirih.
            “Maafkan aku, Kaniya. Aku harus pergi,” ucap Morgan ragu.
            “Jangan tinggalkan aku Gan..”selah Kaniya tersedu. Morgan buru-buru membuka pintu kamarnya. Mengepak semua barangnya dan memasukkan bajunya asal – asalan. Kemudian Morgan teringat kata ibu tadi, secepat mungkin ia menyambar handycam dan menekan tombol on dan record. Alangkah terkejutnya Morgan melihat tubuh Kaniya. Mengerikan sekali. Morgan menjerit kaget.
            “Morgaaan… Jangan tinggalkan aku sendiri Gaan. Aku ingin bersamamu,”
            “Tidak Kan, tidak !” tolak Morgan seraya mundur saat Kaniya mendekatinya. Morgan melihat baju Kaniya berlumuran darah. Orok bayi yang masih merah keluar dari perutnya. Bergerak-gerak dan menangis seperti bayi.
            “Jangan sakiti aku Kan. Aku mohon,”pinta Morgan semakin ketakutan.
            Kaniya terus saja mendekati Morgan. Darah kental menetes dari tubuhnya membasahi lantai. Morgan bergegas bangkit dan menerobos sosok Kaniya di depannya. Tapi mendadak saja ia dihadang sosok-sosok mengerikan di ruang tamu. Sosok orang-orang yang pernah ia temui tempo hari, dan sebagian mati dikamar 17 dengan mengenaskan.
            Morgan menjerit sejadi-jadinya. Minta tolong pada siapa saja yang mendengar jeritannya. Morgan terjerembab di anak tangga. Ia melihat anak tangga yang sudah rapuh dan beberapa mayat lelaki muda seumuran dia yang mati mengenaskan.
            Di luar, langit terlihat semakin menghitam. Angin berhembus kencang. Suara halilintar beberapa kali memecahkan perut bumi. Hujan rintik-rintik  membasahi pelataran. Rangga menyetir dengan kalut. Ia membayangkan Morgan sangat membutuhkan pertolongannya. Beberapa belokan lagi sampailah ia di villa Rorojonggrang, villa yang ditempati Morgan selama liburan.
            Morgan berhadapan dengan sosok Kaniya.
            “Jangan tinggalkan aku Gaan, ikutlah denganku…”
            “Oooo… Tidak bisaaa… Dunia kita sudah berbeda Kaniya. Kembalilah engkau ke duniamu,”
            “Mengapa secepat itu kau meninggalkan aku Gaan.. Kamu udah ngga sayang sama aku lagi ?”
            “Maafkan aku Kaniya, aku tidak bisa bersamamu,”
            Arwah Kaniya terlihat berang dan marah. Ia menghempaskan barang-barang yang ada di ruangan itu. Sedangkan Morgan berusaha lari dari amukan Kaniya dan arwah-arwah lain yang ingin mencekiknya.
            Morgan terpeleset di anak tangga dan terjatuh terguling. Terjerembab di lantai yang penuh dengan pecahan genteng. Kayu-kayu kering dan sampah-sampah berserakan.
            Bisma dan Rangga di depan villa megah berhantu. Morgan melihat sorot lampu mobil yang mengarah ke villa itu. Morgan berusaha lari mencari pintu keluar tapi ia sendiri panik dan bingung. Napasnya tersengal. Keringat dingin membasahi tubuhnya.
Sosok mengerikan itu terus mengejarnya. Terlebih sosok Kaniya yang berubah menjadi sosok yang paling mengerikan. Wajahnya melepuh dan berdarah.. Malam itu menjadi sangat mencekam. Angin kencang menampar-nampar daun jendela. Dengan tergesah-gesah Morgan menerobos sosok-sosok yang tak berwujud asli itu. Ia melihat Bisma dan Rangga masuk sambil menyalakan lampu senter kecil. Mereka terlihat kalut dan panik.
            “Aku disini Bis..Nggaa..”teriak Morgan keras. Mendadak saja ruangan menjadi gelap gulita. Air menetes dari bocoran genteng.
            “Morgaan kamu dimana ??” panggil Bisma keras.
            “Aku di ruang utama Bis. Tolong aku…”
            Rangga dan Bisma segera saja mencari Morgan di ruang utama. Ruang bawah yang kini menjadi tempat penyimpanan sampah dan semak belukar.. mereka kembali dengan senter kecil yang menyinari sebagian saja.
            Angin di luar semakin menggila dengan kilatan cahaya yang dahsyat. Morgan mendengar decak kaki Bisma dan Rangga. Namun sosok Kaniya semakin mendekati Morgan.
            “Gaan jangan pergi dari aku… Aku membutuhkanmu..”
            “Tidak Kan… Aku tidak bisa bersamamu. Biarkan aku pergi,” pekik Morgan panik. Bisma dan Rangga menutup matanya sambil bergidik ngeri.
            “Iiih waaaww, ngerii,” jerit Bisma dan Rangga bersamaan. Kemudian mereka menarik tangan Morgan sambil berlari kencang dan menerobos semua sosok didepannya. Morgan membaca ayat kursi dan berdzikir.
“Pergilah dengan tenang kamu Kaniya…”
“Tidak Gaan, aku ingin bersamamu. Aku bosan sendiri di tengah kegelapan ini. Aku kesepian Gan..”
“Alam kita sudah berbeda Kaniya.. Itu tidak mungkin,”
Kaniya menangis tersedu tangisannya memecahkan gendang telinga setiap orang yang mendengar. Tangisan itu perlahan hilang bersama hujan yang mulai reda. Melebur bersama malam – malam pekat.
“Kuburkan tulang-tulangku dan taburi bunga melati Gaan…” pinta Kaniya sebelum tubuhnya melebur seluruhnya. Kemudian mereka bergegas keluar dari bangunan mengerikan itu dengan tergesah.

 Morgan benar-benar shock dengan kejadian itu. Ia telah berkunjung ke objek wisata rumah hantu yang benar-benar nyata. Liburan yang mengesankan di tempat wisata yang sangat hebat. Villa itu terlihat gersang dan tidak terurus. Rumput menjalar dimana-mana. Morgan masih teringat wajah Kaniya. Setelah menemukan tulang belulang Kaniya yang tersimpan di kamar nomor 17, mereka menguburkannya dengan cara yang ditentukan agama. Morgan menaburi makam Kaniya dengan bunga melati yang semerbak wanginya.
Liburan kurang 4 hari lagi. Kini Morgan tinggal bersama Bisma di rumah omnya Bisma. Morgan mendadak terkejut saat melihat plangkat kamar Bisma berangka 17. AAARRRGGGKKK…..


7 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar